What is Real?
Saya menghirup udara
yang mengandung oksigen dan berbagai macam unsur lain melalui hidung saya. Saya
merasakan udara masuk melalui hidung ke paru-paru. Inilah 'real'. Udara adalah
sesuatu yang 'real'.
Saya menyentuh dan
melihat sebuah benda di depan saya, sekuntum bunga mawar berwarna merah yang
mekar sangat indah menyejukkan hati yang memandangnya. Bunga mawar adalah
'real'.
Sesuatu yang tajam
menusuk kulit saya. Sebuah jarum terinjak oleh kaki saya dan menusuk kaki.
Sakit. Jarum adalah 'real'.
Dari contoh
peristiwa di atas, "Reality" atau "Nyata" dapat disimpulkan
sebagai segala sesuatu yang di pindai oleh indera tubuh kita, penglihatah,
penciuman, raba, rasa, dan yang kita dengar, yang kemudian diteruskan oleh
jaringan syaraf ke otak. Otak akan menterjemahkan hasil pindai tersebut dan
membentuk suatu kesimpulan mengenai apa yang dipindai tubuh kita.
Otak mencari
referensi di dalam bagian lain dari otak untuk menemukan jawaban yang tepat
dari yang diterim oleh panca indera kita. Seperti membayangkan sistem komputer.
Query diterima oleh komputer berupa sebuah parameter yang merujuk pada sebuah
data. Komputer kemudian mencari di database; data mana yang cocok untuk
parameter yang diminta. Setelah data ditemukan, komputer akan menampilkannya
pada layar.
Jika A = Apel, maka
bila seseorang melakukan query "A", komputer akan menampilkan
"Apple".
Begitulah
singkatnya. Otak kita memiliki prinsip kerja yang mirip dengan dengan komputer. Otak
menampilkan apa yang ada di dalam database. Jika seseorang melakukan query "B", maka komputer
tidak bisa menjawabnya oleh karena "B" belum ada di dalam database.
Lalu bagaimana bila
dihadapan kita terdapat sebuah obyek yang belum pernah kita lihat sebelumnya?
Otak kita akan berusaha menemukan jawaban yang paling cocok untuk benda
tersebut. Sehingga kita akan berkata, "benda itu terlihat seperti lampu
mobil" karena benda yang ada di hadapan kita memancarakan dua buah cahaya
berjarak tentu dengan posisi sejajar. Walaupun misalnya dalam keadaan gelap kita
tidak bisa melihat bentuk keseluruhan benda itu, tetapi kita mencoba
mencocokkannya dengan sebuah benda; mobil.
Lalu, manakah yang
'real'? apakah mobil itu real/nyata berada di depan kita? atau hanya cahaya nya
saja yang real?. Dalam contoh di atas kita tidak tau sama sekali apakah benda
itu mobil atau bukan, menjadikan mobil tersebut bukan sesuatu yang "real'.
Yang real adalah cahaya-nya. Karena hanya cahayanya sajalah yang dapat
ditangkap oleh indera kita. Sedangkan mobil hanyalah rekaan atau imajinasi saja.
Pada contoh di atas,
"cahaya" adalah kata-kuncinya.
Lalu bagaimana bila
jika dalam keadaan gelap gulita, dua buah cahaya yang sejajar tersebut tidak
lagi memancarkan cahayanya sehingga tidak ada satupun petunjuk yang sampai ke
indera kita. Apakah benda itu real atau tidak real?
Contoh sangat
sederhana di atas memberikan pengertian yang jelas mengenai apakah
"real/nyata" itu. Manusia tidak akan mengetahui apa pun yang tidak
tertangkap oleh inderanya, juga bila tidak ada di dalam database otak; sebuah
obyek yang belum pernah ada sebelumnya belum tentu langsung dapat terlihat dan
dianggap real oleh kita. Dengan berlandaskan pada defisnisi ini, maka
sesungguhnya cakupan realitas manusia sungguh terbatas. Manusia terperangkap
dalam realita yang dibatasi oleh kondisi fisik. Di luar itu, apa pun selebihnya
dianggap tidak-real. Kalaupun harus 'real', maka itu hanyalah sebuah keyakinan
atau "faith" semata.
Apakah malaikat dan
jin adalah real? apakah Allah real?
Apakah anda bersama
saya mempertanyakan itu?
Semakin maju
peradaban manusia dan semakin terbukanya pola pikir, pertanyaan yang sangat
mendasar itu mulai muncul. Satu kelompok mengatakan bahwa pertanyaan semacam
itu adalah tabu. Sedangkan kelompok lainnya cukup berani mempertanyakannya.
Termasuk kelompok yang manakah anda?
Terdapat sekelompok
lainnya yang (mungkin) tidak merasa perlu mempertanyakan hal itu, namun mereka
memiliki rasa ingin tau yang sangat tinggi untuk menjawab pertanyaan,
"dari mana asal alam semesta ini? bagaimana terbentuknya? apakah ada awal
dan ada akhir-nya?". Mereka adalah sekelompok ilmuwan fisika yang (menurut
saya) berada di suatu perjalanan suci mencari kebenaran atau
"realitas" yang hakiki mengenai manusia dan alam semesta.
Para ilmuwan fisika
telah sampai pada sebuah teori yang hampir tidak bisa dibuktikan sama sekali
kebenarannya, namun teori-teori tersebut sangat cocok pada implementasi dan
perhitungan-perhitungan lainnya. Teori rumit dan dalam yang mendukung teori
lainnya yang lebih dulu dan sederhana, yang mana teori terdahulu tersebut
sangat cocok dengan pengamatan. Lalu apakah toeri itu real? apakah teori itu
harus bisa diuji di dalam laboratorium untuk menjadi 'real'?
"Ya, jika
sebuah teori tidak bisa dibuktikan melalui laboratorium atau observasi, maka ia
bukan ilmu fisika, melainkan filosofi." Begitu para ilmuwan fisika berkata.
Atau mungkin
deifinisi "laboratorium" perlu dikaji ulang. Apakah yang real itu
semata-mata harus bisa terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, tercium oleh
hidung, terasa oleh lidah, dan teraba oleh kulit? Seperti sudah saya singgung
sebelumnya, jika manusia hanya mengandalkan indera fisik saja, maka manusia
akan selalu terkurung dan terbatasi oleh dinding itu.
Dari sinilah para
fisikawan menemukan indera lain dari manusia untuk mengkaji realita, yaitu
dengan matematika. Dengan melakukan perumusan matematis, persamaan matematis
digunakan untuk menguji kebenaran sebuah hipotesa. Persamaan tersebut kemudian
diterima sebagai teori yang baik bila ia mempu mendukung teori terdahulu yang
berkesesuaian dengan percobaan laboratorum dan astronomi. Rupanya para ilmuwan
fisika menghadapi banyak kendala dalam perhitungannya. Matematika saat itu
tidak mampu membantu mereka untuk menyelesaikan persamaan yang sangat kompleks,
maka mereka harus menemukan khasanah matematika baru yang mampu menyelesaikan
persamaan rumit itu.
Di atas kertas, string harus bergerak di lebih dari 3 dimensi-ruang saja.
Persamaan matematis mengharuskan adanya 10 dimensi-ruang untuk string bisa
eksis. Konsekuensinya bagaikan science-fiction; parallel universe, membrane,
dll. Apakah semua itu real? Atau apakah kita akan tetap menganggap teori string
adalah science fiction hanya karena indera manusia yang terbatas ini tidak
mampu menerimanya?
Oleh karenanya saya
selalu berpendapat bahwa "Human's final frontier is the human itself'.
Manusia memiliki dinding pembatas yang harus ditembus untuk mampu menerima
lebih dari batasan itu. Di dalam dinding, semua adalah "real",
sedangkan di luar dinding, bukan real. Itu yang terjadi sekarang.
Jadi, Apakah Allah
real?
Anda pasti akan
berusaha menjawab "Ya, tentu saja". Tapi saya yakin anda menjawab itu
karena doktrin agama yang sudah menahun dan turun-temurun dari leluhur anda.
Bila saya tanya, "Buktikan bahwa Allah real". Jawaban apa yang anda
persiapkan untuk saya?
Jangan salah paham.
Allah adalah real untuk saya. Apakah Ia juga real untuk anda?
So what is real?
Is it your real? my
real? Religions' real?
Is there a
"true" real? what is it?
Allah is real. Real
is Allah.
-------------------
Dalam kesempatan
lain saya mengingat dan kemudian mencoba melirik kembali sebuah ajaran tua,
Hinduism. menurut saya ajaran ini adalah yang paling misterius. Tidak ada yang
tau asal usul serta kapan pertama kali ajaran ini diperkenalkan. Kosep
"Reality" pada ajaran Hindu sebagian mirip dengan apa yang saya
paparkan di atas. Hindu telah lebih dulu memikirkan dan mencoba menjawab
definisi Realita, dan mereka memiliki jawabannya.
Di dalam ajaran
Hindu, dikenal dengan "Brahma". Seorang yang mampu mencapai kondisi
Brahma disebut Brahman (dalam bahasa Inggris). Brahma adalah suatu reality yang
hakiki. Di alam semesta ini, manusia terbatasi oleh penciptaan dan
penghancuran. Brahma tidak real bagi kita yang mengalami penciptaan dan
penghancuran alam semesta. Sedangkan bila kita mencapai Brahma, maka Tuhan,
Penciptaan dan Penghancuran tidaklah lagi relevan. Karena semua yang ada di
alam ini sejak awal dan akhir adalah ilusi semata.
Pada kesempatan
lain, Harus Yahya dalam bukunya "Atlas of Creation" menjelaskan
definisnya mengenai reality. Ia mengatakan bahwa alam yang kita lihat ini
adalah real sebatas indera kita mampu merasakannya. Sesungguhnya semua yang ada
di alam ini adalah ilusi. Alam semesta bagaikan Hologram (Holographic Universe)
Dari sini sedikit
terungkap apa yang sesungguhnya diajarkan oleh agama, ini adalah inti dari
ajaran agama. Bukan hanya organized-religion degan perangkat aktivitasnya serta
ritual-ritual rutinnya. Melainkan satu hal penting yang harus dipahami; bahwa
tidak ada yang REAL selain DIA. DIA adalah satu-satunya yang REAL.
-------------------
0 comments:
Posting Komentar